NU Media – Imam hendaklah berpakaian yang rapi dan menyempurnakan sunnah (seperti berjubah dan bersurban), supaya dia mendapatkan pahala yang sempurna dan memuaskan hati para Makmum yang mengikutinya.
Hendaklah yang menjadi Imam itu orang yang lebih fasih bacaannya (qari’), dan lebih memahami hukum fiqih (faqih), dan lebih tua usianya, dan lebih wara’ (sikap berhati-hati). Dan makruh menjadi Imam jika Makmumnya lebih qari’ dan ‘alim (faqih) dari padanya, kecuali jika orang yang lebih itu enggan untuk menjadi Imam. [1]
Hendaklah yang menjadi Imam itu orang yang disukai oleh Makmum, dan jika Makmum berbeda pendapat tentang perkara ini, maka yang diikuti adalah pendapat mayoritas.
Jika yang berpendapat adalah orang yang shaleh dan alim, maka yang diikuti adalah pendapat mereka, meskipun jumlahnya sedikit dan orang banyak tidak menyukai.
Makruh menghimpunkan dua pekerjaan (menjadi Imam dan menjadi Muadzin), dan hendaklah orang yang menjadi Imam itu berbeda dengan orang yang menjadi muadzin.
Hendaklah Imam memelihara sembahyang pada awal waktu dan jangan mengakhirkannya karena menunggu orang banyak. Sembahyang berjamaah yang sedikit pada awal waktu itu lebih utama daripada berjamaah dengan yang banyak di akhir waktu. Namun demikian, sunnah bagi Imam untuk mengakhirkan iqamah (memberi jeda antara adzan dan iqamah) dengan perkiraan sekedar bersiap-siap segala manusia untuk melaksanakan sembahyang berjamaah.
Seperti perkataan Imam Ghazali Rahimahullahu Ta’ala,
فَفِي الْخَبَرِ لِيَتَمَهَّلْ المُؤَذِّنُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ بِقَدْرِ مَايَفْرُغُ الْآ كِلُ مِنْ طَعَامِهِ، وَلْمُعْتَصِرُ مِنْ اِعْتِصَارِهِ . (الإحياء: ج ١ فصل صلاة الجمعاعة)
“maka tersebut di dalam hadits Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam; hendaklah bilal menunggu antara adzan dan iqamah itu dengan sekedar selesai orang yang makan dari makannya, dan selesai orang yang membuang hajat dari buang hajatnya.”
Sayyidina Jabir bin ‘Abdullah RadhiyAllaahu ‘Anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ : يَابِلَالُ، إِذَا أَذَّنْتَ فَتَرَسَّلْ، وَ إِذَا أَقَمْتَ فَاحْدُرْ. وَاجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ قَدْرَمَايَفْرُغُ الْاَ كِلُ مِنْ أَ كْلِهِ، وَالشَّارِبُ مِنْ شُرْبِهِ، وَلْمُعْتَصِرُ إِذَادَخَلَ لِقَضَاءِحَاجَتِهِ. وَلَا تَقُوْمُوْاحَتَّى تَرَوْنِيْ. (رواه الترمذي، في باب ماجاءفي الترسل في الأذان)
“Sesungguhnya Rasulullahi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada Bilal; wahai Bilal, apabila engkau adzan, maka janganlah terlalu cepat (pada bacaan adzannya). Dan apabila engkau iqamah, maka percepatlah (pada bacaan iqamahnya). Dan berikanlah waktu antara adzan dan iqamahmu itu sekedar selesai orang yang makan dari makannya, dan selesai orang yang minum dari minumnya, dan selesai orang yang membuang hajat dari buang hajatnya. Dan janganlah engkau berdiri untuk sembahyang sampai engkau melihatku.”
Sunnah dipercepat iqamah pada Sembahyang Maghrib karena waktu Maghrib itu sempit, seperti yang disebutkan dalam Qaul Jadid Imam Syafi’i. Sunnah memberi jeda agak lama antara adzan dan iqamah pada Sembahyang Shubuh. Dikecualikan apabila masjid sudah dipenuhi oleh jamaah.
Hendaklah yang menjadi Imam itu ikhlas karena Allah Ta’ala semata serta mengerjakan apa yang diamanahkan Allah Ta’ala kepadanya; pada thaharahnya dan segala syarat sembahyangnya. [2]
Dan hendaklah Imam menyucikan bathinnya dari segala maksiat serta segala dosa yang besar, dan menyucikan dirinya dari mengekalkan dosa kecil. Demikian juga, Imam hendaklah menyucikan zhahirnya dari hadats dan najis. Yang demikian itu tidaklah terlihat dan diketahui oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri.
Jika Imam berhadats di tengah sembahyangnya, maka janganlah dia merasa malu untuk membatalkannya, dan hendaklah dia menunjuk seseorang yang berada dekat dengannya (shaf terdepan di belakang Imam) sebagai Imam pengganti (إِسْتِخْلَافْ), kemudian dia keluar dari sembahyang itu.
Hendaklah Imam tidak memulai takbiratul ihram sebelum dia meratakan shaf, maka disunnahkan Imam berpaling ke arah kanan dan kiri seraya mengatakan (misalnya), إِسْتَوُوْا لِلصَّلَاةِ رَحِمَكُمُ اللهُ (luruskan shaf kalian untuk sembahyang, mudah-mudahan Allah memberikan RahmatNya untuk kalian). Dan jika Imam melihat kesalahan shaf, maka wajib baginya membetulkannya. Dan sunnah bagi Imam untuk tidak memulai takbiratul ihram sebelum muadzin menyelesaikan iqamahnya.
(Syeikh Ahmad Fahmi Zamzam Al-Banjari An-Nadwi Al-Maliki, Adab Sembahyang Berjamaah)
[1] Orang yang paling utama menjadi Imam itu mempunyai empat kriteria pokok, yaitu; Paling Qari’, Paling Faqih, Paling Tua, dan Paling Wara’. Apabila berkumpul keempat sifat ini pada diri seseorang, maka dia adalah yang paling utama untuk menjadi Imam Shalat.
Imam seyogyanya adalah orang yang telah selesai himmahnya (tidak bercabang pikirannya).
Dari Ismai’l bin Raja’, ia berkata, saya pernah mendengar Aus bin Dham’aj berkata, saya pernah mendengar Abu Mas’ud berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada kami,
“Orang yang mengimami suatu kaum hendaklah orang yang paling pandai diantara mereka tentang kitab Allah dan lebih baik diantara mereka bacaannya. Jika bacaan (kefahaman) mereka itu sama, maka hendaklah mengimami mereka orang yang lebih dahulu diantara mereka berhijrah. Jika mereka itu sama didalam hijrahnya, maka hendaklah mengimami mereka orang yang paling tua umurnya diantara mereka. Dan janganlah kamu mengimami orang lain di dalam keluarganya, dan jangan pula di dalam kekuasaannya. Dan janganlah kamu duduk di tempat kehormatannya di dalam rumahnya, kecuali orang tersebut mengidzinkan untukmu atau dengan idzinnya”. (HR. Muslim).
[2] Imam adalah penanggung, maka hendaklah ia memelihara keikhlasannya semata karena Allah Ta’ala dan bukan karena ingin mendapat perhatian manusia. Imam wajib memelihara tharahnya dan menjaga segala syarat serta rukun sembahyangnya. Dalam Madzhab Syafi’i, tersentuh antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya membatalkan wudhu, maka ketika seseorang menjadi Imam, dia tidak boleh mengambil sikap untuk berpindah (taqlid) tanpa udzur syar’i kepada Madzhab Hanafi yang tidak membatalkannya, apalagi karena hanya alasan malas untuk memperbaharui wudhunya. Dalam hal ini, kejujuran seorang Imam untuk menjaga amanah Allah dan para Makmumnya dipersyaratkan.
Imam Syafi’i berkata, “kami tidak menyukai seseorang yang mengerjakan shalat namun ia masih meragukan wudhunya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh untuk menyempurnakan wudhu.” (al-Umm, BAB Shalat Sunnah, Fasal Halangan Meninggalkan Shalat Berjamaah, halaman 239).