NU Media – Sebelum didirikan sembahyang berjamaah, hendaklah dilaksanakan adzan dan iqamah terlebih dahulu. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan mengenai kelebihan adzan,
ثَلَاثَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى كَثِيْبٍ مِنْ مِسْكٍ اَسْوَدَ، وَلَا يَهُمُّهُمْ حِسَابٌ، وَلَا يَنَالُهُمْ فَزَعٌ حَتَّ يُفْرَغَ مِمَّا بَيْنَ النَّاسِ. رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَلَى، وَأَمَّ بِالنَّاسِ وَهُمْ بِهِ رَاضُوْنَ، وَرَجُلٌ بْتُلِيَ بِالرِّزْقِ فِيْ الدُّنْيَا، فَلَمْ يُشْغِلْهُ ذَلِكَ عَنْ عَمَلِ الْآخِرَةِ ، وَرَجُلٌ أَذَّنَ فِيْ مَسْجِدٍ وَدَعَا إِلَى اللهِ تَعَلَى ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ . (رواه الترمذي، حديث حسن)
“tiga orang pada hari qiyamat berada di atas tempat yang tinggi yang terbuat dari kesturi yang hitam (misk), mereka tidak berduka cita (disusahkan) oleh hisab, dan tidak ada ketakutan pada diri mereka hingga selesai seluruh hisab manusia; (pertama) laki-laki yang membaca al qur’an karena mengharap ridha Allah Ta’aalaa semata, dan (dengan bacaannya tersebut) ia menjadi Imam shalatnya suatu kaum yang merasa puas dengannya; (kedua) laki-laki yang diuji dengan kesempitan rizki di dunia, namun tidak menyebabkannya lupa dari berbuat ‘amal akhirat; (ketiga) laki-laki yang adzan di dalam masjid dan menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah Ta’aalaa, karena semata mengharap ridha Allah ‘Azza Wa Jalla.” [1]
Dan lagi, Sabda Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mengenai kelebihan muadzin,
لَا يَسْمَعُ صَوْتَ الْمُؤَ ذِّ نِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَلَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ . (رواه البخاري)
“tiada mendengar akan suara orang yang adzan itu oleh jin dan manusia, dan tiada mendengar oleh sesuatu apapun, melainkan naik saksi baginya (muadzin) pada hari qiyamat.” [2]
Adzan itu Hak Muadzin; “al mu’adzinu mu’tamanun” (Muadzin adalah orang yang diberi amanah), maka hendaklah muadzin melaksanakan adzan apabila telah masuk waktu sembahyang (Imam tidak menunggu muadzin, tetapi muadzin yang menunggu Imam).
Muadzin harus memastikan Imam telah masuk Masjid dan berada di tempatnya, dan Muadzin harus menunggu perintah Imam untuk melaksanakan iqamah. Dalam hal ini, kebijaksanaan serta kearifan Imam diperlukan dalam menentukan jarak, antara adzan dan iqamah, serta memutuskan perintah kepada muadzin untuk menunda atau segera melaksanakan iqamah.
Sayyidina Jabir bin Samurah RadhiyAllaahu ‘Anhu meriwayatkan,
كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُمْهِلُ فَلَا يُقِيْمُ، حَتَّ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلَاةَ حِيْنَ يَرَاهُ . (رواه الترمذي، في باب ماجاء أن الإمام أحق بالإقامة)
“adalah muadzin Rasulullahi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menunggu dan tidak terburu-buru iqamah, sehingga apabila dia melihat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah keluar (dari rumahnya), maka barulah dia iqamah.” [3]
Iqamah itu Hak Imam; maka muadzin tidak iqamah kecuali dengan perintah Imam (Imam tidak mengikut muadzin, tetapi muadzin yang mengikut Imam).
Dan hendaklah yang iqamah itu orang yang adzan, seperti disebutkan dalam Hadits Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
عَنْ زِيَادِ بْنِ الْحَارِثِ الصُّدَائِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُؤَذِّنَ فِيْ صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَأَذَّنْتُ. فَأَرَادَ بِلَالٌ أَنْ يُقِيْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَخَا صُدَاءٍ قَدْ أَذَّنَ. وَمَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ. (رواه الترمذي، في باب ماجاء أن من أذن فهو يقيم)
“Dari Ziyad bin Al-Harits Ash-Shudaiy RadhiyAllaahu ‘Anhu, beliau berkata; Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menyuruhku adzan pada suatu subuh, maka aku pun adzan. Kemudian ketika sampai waktunya untuk iqamah, Bilal berdiri untuk iqamah. Maka Bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam; saudara kita Shudaiy telah adzan. Siapa yang adzan, maka dia lebih berhak untuk iqamah.”
(Syeikh Ahmad Fahmi Zamzam Al-Banjari An-Nadwi Al-Maliki, Adab Sembahyang Berjamaah)
[1] Tiga golongan orang yang diperlakukan khusus di Yaumil Hisab. Ketiga golongan manusia ini adalah orang-orang yang dalam beramalnya, hanya mengharapkan Ridha Allah Azza Wa Jalla. Mereka ditempatkan di tempat istimewa dan tidak disibukkan dengan perkara hisab, sampai seluruh manusia yang pada hari itu diliputi duka cita dan perasaan yang amat takut selesai menjalani proses hisabnya.
[2] Segala sesuatu yang mendengar suara Muadzin, baik dari golongan jin dan manusia, serta sesuatu apapun di alam ini, akan menjadi saksi bagi keimanan muadzin tersebut di hari qiyamat.
[3] Banyak dijumpai, muadzin dan jamaah tidak mengindahkan hal ini karena ingin cepat-cepat melaksanakan sembahyang, sementara Imam Rawatib belum hadir di masjid. Akibatnya makmum saling menunjuk orang lain untuk maju menjadi Imam.