NU Media – Perkembangan Tasawuf di Indonesia cukup pesat, para ahli menjelaskan bahwa pemikiran tasawuf di Indonesia (baca: Nusantara) bermula dari dakwah Islam yang dilakukan oleh wali songo (wali sembilan) serta penyebarannya merupakan jasa para sufi. Abu Bakar Atceh menjelaskan bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia turut dipengaruhi oleh jalur masuknya Islam di Nusantara, artinya datangnya Islam melewati tanah Persia dan India melalui para pedagang Muslim yang turut menyebarkan Agama Islam. Di sisi lain, Azyumardi Azra menambahkan bahwasanya Islam dengan nuansa tasawuf unggul pada tahap proses pertama kali Islamisasi di Nusantara sampai akhir abad ke-17.
Sejalan dengan masuknya Islam di Nusantara dengan nuansa sufistik, hal tersebut juga terjadi di Kalimantan Selatan atau yang lebih di kenal dengan masyarakat Banjar. Perkembangan tasawuf di wilayah ini bisa dikatakan berkembang pesat sejak abad awal mula Islam berkembang hingga sekarang dengan tokoh awal mula seperti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Syekh Abulung dan lainnya. Meskipun Islam baru masuk ke Banjarmasin pada abad ke-16, tepatnya ketika Pangeran Samudera yang bergelar Pangeran Suriansyah (W.1550), resmi memeluk Islam, namun setelah itu perkembangan Islamisasi masyarakat Banjar intensif. Dalam piagam kerajaan Banjar tertera kalimat “Laa Ilaaha illallaahua, Allaahu Maujud Aku” yang konon sangat kental dengan nuansa sufistik. Salah satu tokoh dari kerajaan Demak yang diutus kepada kerajaan Banjar juga merupakan seorang sufi yaitu Khatib Dayyan. Hal inilah yang menjadi landasan bahwa Islam nuansa sufistik erat kaitannya dengan proses Islamisasi di wilayah ini.
Islam masuk ke Kalimantan Selatan lebih belakang dibandingkan daerah-daerah lainnya. Berdasarkan penyampaian ahli sejarah bahwa sekitar abad ke-16 terdapat beberapa muslim yang menempati wilayah ini, namun Islam mencapai letak tingginya sejak kerajaan Demak di Jawa membantu Pangeran Samudera dalam perlawanannya merebut tahta dari pamannya Temenggung. Pangeran Samudera resmi memeluk agama Islam sekitar tahun 936 H, bertepatan dengan 1526 M. Ia diangkat menjadi Sultan pertama yang mengawali berdirinya kerajaan Banjar. Ia juga diberikan gelar oleh salah seorang da’i Arab dengan sebutan Sultan Suriansyah.
Menurut fakta sejarah, pada awal berdirinya kerajaan Banjar ajaran tasawuf disebarkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung dengan corak falsafinya. Bahkan salah seorang penyiar agama Islam dari Demak yaitu Khatib Dayyan juga merupakan salah seorang sufi sehingga masyarakat Banjar yang kala itu kebanyakannya beragama Hindu bersedia menerima ajaran Islam dengan kelapangan hati disebabkan terdapat beberapa kesamaan ajaran tasawuf dengan apa yang dianut oleh kepercayaan masyarakat sebelumnya seperti praktik ‘uzlah dengan bersemedi. Pada akhirnya sekitar abad ke-18 datang tokoh sufi bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang juga disebut dengan Datu Kalampayan membawa corak tasawuf suninya.
Adanya dua ajaran yang nampak jelas, membuat sebagian masyarakat kebingungan terhadap corak tasawuf. Tasawuf dengan corak suni kala itu didominasi kalangan terpelajar atau akademisi dan kalangan-kalangan pondok pesantren. Sementara beberapa masyarakat yang menyukai tasawuf falsafi menunjukan perbedaan minat dari masing-masing individu. Namun hal itu tidak menjadi tolok ukur benar dan salah. Tasawuf falsafi meskipun ajarannya lebih cenderung bercampur dengan pemikiran-pemikiran filsafat, ia tetaplah tasawuf dan bukan filsafat sepenuhnya. Kedua ajaran tersebut berasal dari tokoh-tokoh sufi fenomenal yang memiliki otoritas keilmuan tinggi dan sulit untuk dibantah karena masing-masing mereka memiliki dalil serta rujukan pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sekitar abad ke-18, berkembang pula ajaran tasawuf yang dipelopori oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan karyanya ad-Durr an-Nafis yang berisi tentang tasawuf wujuudiyyah; teori Nur Muhammad, tingkatan wujud Tuhan, martabat tujuh, tawhiid al-af’aal, al-asmaa’, ash-shifaah, dan adz-dzaat. Namun sebagian ulama menganggap karya ini merupakan ajaran tingkat tinggi dan bahkan sebagian mengatakan bahwa kitab ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Diskursus pemikiran tasawuf di Masyarakat Banjar secara kecenderungan menyerupai tasawuf yang ada di tanah Jawa. Tasawuf suni dan tasawuf falsafi turut berkembang di wilayah ini, bahkan kontestasinya bisa dikatakan sama. Di tanah Jawa tasawuf suni diwakili oleh wali songo, sementara tasawuf falsafi diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Hal tersebut juga terjadi di Kalimantan Selatan antara Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang merupakan mufti kerajaan Banjar dan -Syekh Siti Jenarnya Kalimantan- Syekh Abdul Hamid Abulung hingga kemudian berakhir dengan hukuman terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung.
Diskursus ini terus berlanjut seiring perkembangan tasawuf dengan nuansa islam tradisional yang kuat. Perkembangan yang dinamis dalam tasawuf itu sendiri selain berjalan secara turun temurun, nuansa sufistik digunakan serta melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar hingga sekarang baik berupa pengajian besar seperti majelis Guru Sekumpul yang merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, maupun kitab-kitab tasawuf bernuansa suni. Di sisi lain, ajaran bernuansa falsafi pun cenderung terus berjalan, baik dalam bentuk kitab yang dituliskan dan diterbitkan maupun pengajian tertutup seperti yang diungkapkan Ahmad dalam penelitiannya tentang tasawuf sirr yang dari segi ajaran, waktu, dan cara menyampaikannya bersifat rahasia. Ajaran-ajaran tasawuf ini masih banyak serta intensif dilakukan di masyarakat Banjar dan jika kita menelisik lebih jauh, akan kita dapati naskah-naskah yang diajarkan baik dengan menyebutkan nama pengarang maupun sebaliknya (anomim). Diungkapkan oleh Ahmad Syadzali dalam “Naskah-Naskah Islam Anonim di Kalimantan Selatan” bahwa sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20 telah banyak ditulis berbagai naskah di Kalimantan Selatan, hanya saja kadang-kadang naskah tersebut beredar untuk kalangan terbatas dan terus berlangsung hingga saat ini.
Di kalimantan Selatan terdapat banyak sekali ulama, bahkan yang mempunyai majelis pengajian dengan ribuan jamaah, sebut saja seperti Guru Sekumpul, Guru Bakhiet, Guru Danau (Guru Asmuni), dan Guru Zuhdi yang pemikiran mereka kental dengan kecenderungan sufistik. Ulama yang dikenal dengan istilah ulama Banjar kharismatik ini cenderung bergerak dalam pembelajaran konsep dan penanaman nilai tasawuf.
Daftar bacaan:
(Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PWNU Kalimantan Selatan)