Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu,
Kami mau bertanya terkait larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berkurban. Apakah keluarga atau orang yang diikutkan namanya untuk kurban tersebut juga dilarang melakukannya?
(Jama’ah Majelis Taklim Al-Barokah, Sambaliung, Berau)
JAWABAN
Wa’alaikumussalaam Warahmatullaahi Wabarakaatuhu,
Penanya NU Media yang budiman. Semoga Allah Subhanahu WaTa’ala senantiasa mencurahkan rahmatNya untuk kita semua, aamiin.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami uraikan terkait permasalahan larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berkurban, yang hukumnya terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Khilaf tersebut muncul dari memahami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
“Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya).
Maka sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mirqhat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashabih juz 3 halaman 511, terdapat 3 pendapat ulama mengenai hal tersebut:
Berikutnya terkait pertanyaan, apakah keluarga atau orang yang dimasukkan namanya juga terkena hukum larangan di atas?
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah juz 5 halaman 95 dijelaskan bahwa menurut pandangan madzhab Syafi’I dan Maliki, kesunahan tidak memotong kuku dan rambut tidak hanya berlaku bagi orang yang berkurban akan tetapi juga kepada orang yang dimasukkan atau diniatkan namanya dalam pelaksanaan kurban.
Sumber Rujukan:
(مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح ج: 3، ص: 511)
الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه
(الموسوعة الفقهية ج:5، ص:95)
ذهب الشافعية والمالكية إلى أنه يُسَنُّ لِمَنْ يُرِيدُ التَّضْحِيَةَ وَلِمَنْ يَعْلَمُ أَنَّ غَيْرَهُ يُضَحِّي عَنْهُ أَلَّا يُزِيلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِ رَأْسِهِ أَوْ بَدَنِهِ بِحَلْقٍ أَوْ قَصٍّ أَوْ غَيْرِهِمَا، وَلا شَيْئًا مِنْ أَظْفَارِهِ بِتَقْلِيمٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَلا شَيْئًا مِنْ بَشَرَتِهِ، وَذَلِكَ مِنْ لَيْلَةِ الْيَوْمِ الأَوَّلِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ إِلَى الْفَرَاغِ مِنْ ذَبْحِ الأُضْحِيَّةِ؛ لقول النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «مَنْ رَأَى هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ فَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ» أخرجه النسائي في “السنن الكبرى”، ومخالفة ذلك ليست بحرامٍ، بل هي مكروهةٌ كراهةَ تنزيه
Wallaahu a’lamu binafsil amri wa haqiiqatil haal.
(Mujawib: Ustadz Sahrul Anam, S.Pd.I. – Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Berau)