NU Media – Masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, tentunya sudah sangat akrab dengan tradisi Lebaran Ketupat, sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.
Bagi sebagian orang, Lebaran Ketupat dimaknai hari raya sebagai bentuk apresiasi dan rasa syukur karena mereka telah menjalankan puasa selama enam hari di bulan Syawal. Secara filosofis, Lebaran Ketupat juga dimaknai sebagai ajang pelebur kesalahan antar sesama manusia dengan melakukan silaturahim dan saling memaafkan.
Dilansir dari berbagai sumber, beberapa catatan sejarah menyebutkan, Sunan Kalijaga adalah orang pertama yang memperkenalkan tradisi Lebaran Ketupat. Sunan Kalijaga membudayakan dua kali bakda (lebaran), yakni bakda Idul Fitri dan bakda kupat (Lebaran Ketupat) sebagai simbol yang menggambarkan kebersamaan.
Bagi masyarakat Jawa, Lebaran Ketupat bukan hanya sekadar makan ketupat di hari ketujuh setelah Idul Fitri, namun sarat makna yang terkandung di dalamnya. Kata ketupat atau kupat berasal dari bahasa Jawa yakni ngaku lepat atau mengakui kesalahan, sehingga dengan simbol ketupat sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara menikmati hidangan ketupat bersama-sama.
Bungkus ketupat yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip kiblat papat lima pancer yang bermakna ke mana pun manusia menuju, pasti akan selalu kembali kepada Allah.
Makanan pendampingnya pun memiliki makna khusus. Santan yang menjadi pelengkap opor dianggap memiliki arti yang dalam bahasa Jawa, Santan disebut pangapunten alias memohon maaf. Berbagai sumber menyebutkan, awalnya Lebaran Ketupat hanya dilakukan oleh masyarakat daerah Durenan, Trenggalek, Jawa Timur. Namun seiring waktu, tradisi Lebaran Ketupat dilaksanakan oleh hampir semua daerah dan menjadi tradisi membudaya di kalangan masyarakat Jawa.