NU Media – Ia agak gemuk, atau agak gendut. Perutnya yang sedikit buncit seperti perut Buddha hampir-hampir menonjol keluar membuat kemeja batik murahnya tidak bisa terkancingkan di bagian itu. Pada akhir tahun 1980-an ia mengenakan kacamata berwarna hitam yang agak tidak pas, dengan pinggir yang tebal. Mata kirinya hampir tertutup sempurna dan jelas pula bahwa penglihatan mata kanannya juga tidak terlalu baik. Jelas Gus Dur bukanlah seseorang yang bersifat fotogenik. Giginya tidak rata dan agak kuning. Rambutnya hitam berombak dan tidak tersisir rapi. Tahun-tahun berikutnya saya memotretnya berpuluh atau mungkin beratus kali tetapi hampir tak ada potretnya yang menggambarkannya dengan pas.
Ada sesuatu mengenai kehadirannya yang bagai magnet tetapi jarang sekali dapat terekam dalam potret. Foto-foto Gus Dur yang terbaik selalu foto-foto yang menggambarkan dirinya sedang tertawa.
Meski penampilannya sederhana, kehadirannya selalu menyita perhatian. Ia bukanlah seorang yang mengesankan – malah sebaliknya – akan tetapi kehangatan yang terpancar dari dirinya yang santai dan sikapnya yang bergairah ditambah dengan rasa humornya yang tinggi dan kecerdasan berpikirnya merupakan alasan mengapa mau tak mau saya menyukainya.
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya yang menghadiri pesta perayaan hari ulang tahunnya di Istana Bogor pada hari Jumat, 4 Agustus 2000 tak mungkin sadar bahwa sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.
Gus Dur, dengan pengetahuan pada tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai, adalah satu dari sedikit orang yang bisa memahami dinamika agama dan modernisasi. Secara umum apa yang hendak didedahkan Gus Dur adalah suatu hubungan seimbang dan timbal balik antara keyakinan keagamaan dan keyakinan sekuler dalam berbagai wujud dan manifestasinya dalam proses terus-menerus berbangsa dan bernegara.
Gus Dur adalah salah seorang tokoh intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran. Di luar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga – yang tidak boleh dilupakan – tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir Gus Dur menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, dan juga ketika dia berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca-Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan kepada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Lahu Alfaatihah…
(Penulis adalah Bendahara LTN PWNU Kalimantan Selatan)