Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu,
Saya gadis yang baru menginjak remaja. Seminggu yang lalu saya dilamar oleh seseorang yang tidak lain adalah sepupu saya sendiri. Entah apa yang harus saya perbuat sebab masing-masing keluarga sudah sepakat. Saya tidak ingin cepat-cepat naik pelaminan dengan alasan, pertama, pendidikan saya belum selesai, kedua, saya kurang menyukai si calon karena mengetahui ia mempunyai kebiasaan kurang baik.
PERTANYAAN
(Aulia – Sambaliung)
JAWABAN (1)
Wa’alaikumussalaam Warahmatullaahi Wabarakaatuhu,
Penanya NU Media yang budiman. Semoga Allah Subhanahu WaTa’ala senantiasa mencurahkan rahmatNya untuk kita semua, aamiin.
Khitbah (pertunangan) bukanlah suatu akad sebagaimana akad nikah yang tidak dapat dibatalkan. Khitbah sebatas proses menuju pernikahan sehingga jika ada hal-hal prinsip yang menjadi alasan, maka diperbolehkan seorang pelamar atau yang dilamar membatalkannya.
Sebaiknya Anda menyampaikannya kepada pihak keluarga agar mereka dapat segera memberitahukan kepada pihak pengkhitbah –terlebih lagi yang melamar masih ada ikatan kerabat– sehingga tidak ada kesalahpahaman antara keluarga masing-masing. Dengan alasan bahwa Anda belum siap menikah karena masih ingin melanjutkan pendidikan, Insya Allah keluarga Anda dan pihak pelamar akan memakluminya.
RUJUKAN
Kitab Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili. Hal Serupa dapat ditemui dalam kitab Al-Maushu’ah Al-Kwaitiyah.
الفقه الإسلامي وأدلتهج 9 ص 19
العدول عن الخطبة وأثره: بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة ؛ لأنه ما لم يوجد العقد فلا إلزام ولا التزام. ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة. وينبغي الحكم على المخطوبة بالموضوعية المجردة، لا بالهوى أو بدون مسوغ معقول، فلا يعدل الخاطب عن عزمه الذي شاءه؛ لأن عدوله هو نقض للعهد أو الوعد، ويستحسن شرعاً وعرفاً التعجيل في العدول إذا بدا سبب واضح يقتضي ذلك، قال الله تعالى: {وأوفوا بالعهد إن العهد كان مسؤولاً} [الإسراء:34/17] وقال صلّى الله عليه وسلم : «اضمنوا لي ستاً من أنفسكم أضمن لكم الجنة: اصدقوا إذا حدثتم، وأوفوا إذا وعدتم، وأدّوا إذا ائتمنتم، واحفظوا فروجكم، وغضوا أبصاركم، وكفوا أيديكم».
الموسوعة الفقهية الكويتية ج 19 ص 203
سادسا : الرجوع عن الخطبة: ذهب الشافعية والحنابلة إلى أن الخطبة ليست بعقد شرعي بل هي وعد ، وإن تخيل كونها عقدا فليس بلازم بل جائز من الجانبين ، ولا يكره للولي الرجوع عن الإجابة إذا رأى المصلحة للمخطوبة في ذلك ؛ لأن الحق لها وهو نائب عنها في النظر لها ، فلا يكره له الرجوع الذي رأى المصلحة فيه ، كما لو ساوم في بيع دارها ثم تبين له المصلحة في تركها ، ولا يكره لها أيضا الرجوع إذا كرهت الخاطب ؛ لأن النكاح عقد عمري يدوم الضرر فيه ، فكان لها الاحتياط لنفسها والنظر في حظها ، وإن رجعا عن ذلك لغير غرض كره لما فيه من إخلاف الوعد والرجوع عن القول ، ولم يحرم لأن الحق بعد لم يلزمهما ، كمن سام سلعة ثم بدا له ألا يبيعها.
JAWABAN (2)
Sebelum menjawab, terlebih dahulu saya akan memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini supaya tidak ada kesalahpahaman antara Anda dan orang tua Anda. Dalam memilih calon pendamping hidup, pada dasarnya seorang anak baik laki-laki maupun perempuan diberi kebebasan untuk menentukannya sendiri karena merekalah yang akan menjalani pernikahan, ikatan suci dan sakral yang sifatnya bukan sementara.
Kebahagiaan akan sangat sulit terwujud apabila antara anak dan calon pendampingnya tidak saling mengenal serta memahami karakter masing-masing. Jiwa yang tidak saling mengenal akan mudah untuk berselisih. Sebaliknya, ia akan senantiasa lunak. Sebagaimana sabda Nabi,
وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ مَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu adalah para tentara yang dipersenjatai. Ruh-ruh yang saling mengenal akan menjadi lunak, sedangkan ruh-ruh yang saling membenci akan berselisih. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits lain yang mendukung hal ini, diantaranya yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu Abbas,
أَنَّ جَارِيَةَ بِكْراً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ. فَخَيَّرَهَاالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa seorang anak perempuan yang masih perawan mendatangi Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, lalu ia melaporkan bahwa bapaknya telah menikahkannya (dengan seseorang) padahal ia tidak menyukainya. Maka Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. memberinya hak untuk memilih. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Dengan demikian, pada dasarnya anak bebas untuk menentukan calonnya sendiri. Namun tentunya kebebasan ini tidak disalahartikan sehingga menganggap orang tua tidak mempunyai peranan kemudian dikesampingkan. Bebas bukan berarti tanpa mematuhi aturan main, sebab dalam hal menentukan jodoh peran orang tua turut menjadi penting karena mereka jauh lebih lebih matang dan berpengalaman sehingga dapat mengambil keputusan dengan arif dan bijaksana.
Dalam konsep fikih Syafi’i terdapat istilah ijbar, dimana orang tua (ayah dan kakek) diberi wewenang khusus untuk mengawinkan putrinya yang masih perawan tanpa persetujuannya. Tujuannya tidak lain semata untuk kepentingan anak itu sendiri. Mengapa saya menggunakan diksi ‘masih perawan’? sebab yang terdapat dalam konsep fiqih, ijbar hanya boleh dilakukan kepada putrinya yang masih perawan, bukan kepada yang sudah janda.
Seorang janda dianggap sudah mampu selektif dan berpengalaman dalam mencari calon pendampingnya, sehingga ia diberi hak penuh untuk memilih calon pasangan hidupnya sendiri. Berbeda halnya dengan seorang perawan yang kebanyakan masih polos, lugu dan tertutup, yang kadang melihat calon pasangan hanya dari luarnya. Maka demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, orang tuapun diberi hak untuk mengawinkan putrinya meski tidak ada persetujuannya terlebih dahulu. Sebagaimana terdapat dalam hadits,
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوْهَا
Seorang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Dan bagi seorang gadis, seorang ayahlah yang akan menikahkannya. (HR. Daru Quthni)
Selain hadits di atas, kita juga tahu bahwa dalam konsep pernikahan mayoritas ulama meletakkan wali sebagai rukun yang harus dipenuhi. Hal ini menunjukkan pentingnya peran wali dalam sebuah pernikahan. Sehingga Nabi bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tiada pernikahan (tidak sah) kecuali dengan (adanya) wali. (HR. Ibnu Hibban)
Begitu juga, dalam konsep fiqih Syafi’i terdapat satu pendapat yang menyatakan ketika orang tua mempunyai calon bagi anaknya dan sudah sesuai kriteria Islam (kufu’/serasi) namun anaknya tidak mau sebab telah mempunyai calon sendiri (yang juga kufu’), maka mayoritas dari mereka (ulama Syafi’iyah) lebih cendrung membenarkan orang tua karena menurut mereka orang tua lebih berpengalaman dalam menentukan jodoh untuk anaknya.
Meski demikian, ternyata masih banyak yang menganggap bahwa ijbar merupakan suatu bentuk pemaksaan yang akan menghilangkan hak asasi anak dalam masalah jodoh. Padahal tidak demikian, konsep ijbar itu semata-mata untuk melindungi seorang anak serta memberikannya yang terbaik, sebab sampai saat ini jarang ditemukan –bahkan nyaris tidak ada– orang tua yang tega menikahkan anak-anaknya dengan seorang laki-laki yang tidak bermoral dan bertanggung jawab. Lagi pula hak ijbar tidak serta merta boleh langsung dilakukan, sebab orang tua masih disunnahkan meminta izin kepada anaknya terlebih dahulu dan bagi orang tua yang menikahkan anaknya dengan cara ijbar diharuskan pula memenuhi beberapa ketentuan berikut:
Ketiga ketentuan di atas merupakan syarat bagi wali untuk bisa menikahkan anaknya meskipun tanpa persetujuannya terlebih dahulu, sehingga jika ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka hukum nikahnya tidak sah.
Selain ketiga ketentuan di atas masih ada beberapa ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh seorang wali. Hanya saja jika ketentuan ini tidak terpenuhi, hukum pernikahannya tetap sah namun wali tetap akan mendapatkan dosa:
Kesimpulannya, seorang anak tetap mempunyai hak untuk memilih pasangannya sendiri, hanya saja ketika orang tua sudah memilihkan pasangan anaknya yang sudah sesuai dengan kriteria Islam, maka hendaknya si anak mau menuruti kemauan orang tua dan tidak ada alasan untuk menolaknya.
RUJUKAN
قضايا الفقه والفكر المعاصر للوهبة الزحيلي. ج:2, ص: 383
حق المرأة في اختيار الزوج
العلاقة الزوجية في الاصل علاقة حميمية دائمة وشركة مستمرة طوال الحياة مصدرها عقد الزواج وكل عقد يتطلب المساواة بين طرفيه ومقتضى المساواة توافر الحرية في الاختيار من اجل ضمان الاستمرار والبعد عن التعثر والانهيار وسرعان ما ينهار رباط الزوجية القائم على الجبر والقهر والاكراه او لعدم توافر الكفاءة بين الزوجين كما حدث في عدم توافر التفاهم بين زينب بنت جحش القرشية رضي الله عنها وزيد بن حارثة رضي الله عنه المولى فطلبت الفراق وفسخ الزواج لانها انفت من زوج هو مولى وهي قرشية رفيعة النسب.
السراج الوهاج ج 1 ص 366
ولو عينت كفؤا وأراد الأب غيره فله ذلك في الأصح لأنه أكمل نظرا منها ومقابله يلزمه إجابتها إعفافا لها.
المجموع شرح المهذب (16/ 165)
قال المصنف رحمه الله: (فصل)ويجوز للاب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة: لما روى ابن عباس رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها أبوها في نفسها) فدل على أن الولىأحق بالبكر وإن كانت بالغة فالمستحب أن يستأذنها للخبر وإذنها صماتها لما روى ابن عباس رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (الايم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها) ولانها تستحى أن تأذن لابيها بالنطق فجعل صماتها إذنا، ولا يجوز لغير الاب والجد تزويجها إلا أن تبلغ وتأذن، لما روى نافع (أن عبد الله بن عمر رضى الله عنه تزوج بنت خاله عثمان ابن مظعون فذهبت أمها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقالت: إن ابنتى تكره ذلك فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفارقها.
حاشية البجيرمي على الخطيب (10/ 203)
تنبيه : لتزويج الأب أو الجد البكر بغير إذنها شروط :
الأول :أن لا يكون بينها وبينه عداوة ظاهرة .
الثاني : أن يزوجها من كفء .
الثالث : أن يزوجها بمهر مثلها .
الرابع : أن يكون من نقد البلد .
الخامس : أن لا يكون الزوج معسرا بالمهر .
السادس : أن لا يزوجها بمن تتضرر بمعاشرته كأعمى أو شيخ هرم .
السابع : أن لا يكون قد وجب عليها نسك فإن الزوج يمنعها لكون النسك على التراخي ولها غرض في تعجيل براءة ذمتها قاله ابن العماد .
وهل هذه الشروط المذكورة شروط لصحة النكاح بغير الإذن أو لجواز الإقدام فقط ؟ فيه ما هو معتبر لهذا وما هو معتبر لذلك ، فالمعتبرات للصحة بغير الإذن أن لا يكون بينها وبين وليها عداوة ظاهرة ، وأن يكون الزوج كفؤا ، وأن يكون موسرا بحال صداقها ، وما عدا ذلك شروط لجواز الإقدام .
JAWABAN (3)
Pendidikan merupakan suatu keharusan dalam Islam. Dalam hadits dikatakan,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap orang Islam. (HR. Baihaqi)
Begitu pun pernikahan. Seseorang yang mampu dan siap menikah dituntut untuk segera menunaikannya. Sebagaimana Nabi berpesan kepada para pemuda yang mampu untuk segera menikah,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah. Sebab menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun barang siapa tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa. Sebab puasa adalah pemutus syahwat. (HR. Bukhari)
Ketika ditanya mana yang harus didahulukan dan lebih penting mana antara pernikahan dan pendidikan, maka jawabannya sebagaimana kebanyakan fatwa para ulama bahwa keduanya sama-sama harus didahulukan karena sama-sama penting dan bukanlah suatu yang tidak mungkin untuk dilakukan secara bersamaan. Persoalannya jika keduanya tidak memungkinkan untuk dilakukan secara bersamaan dan harus memilih salah satu, maka hendaklah kita melihat dari status pendidikan itu. Jika menempuh pendidikan tersebut bersifat fardhu ‘ain yang tidak boleh ditinggalkan, maka pendidikan lebih didahulukan dari pernikahan. Sebaliknya, apabila pendidikan tersebut hanya bersifat fardhu kifayah maka hendaknya pernikahan yang harus didahulukan.
RUJUKAN
فتاوى الشبكة الإسلامية ج 3 ص 229
السؤال: هل الزواج أفضل للمرأة أم طلب العلم؟ أجيبونا مأجورين
الفتوى : الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد :فلا يوجد تعارض بين طلب العلم والزواج ، فالجمع بينهما ممكن ، وسائغ جداً ، فإن تعسر الجمع بينهما افتراضاً ، فينظر: إن كان العلم فرضاً عينياً كتعلم الإيمان ، وأصول الإسلام من الصلاة ، والصيام ، والزكاة ، والحج ، وما لا يجوز جهله للمسلم، كي يستقيم العبد لربه عقيدة وعبادة وسلوكاً ، فإنها تقدم العلم ، ولن يأخذ ذلك مدة طويلة ، بل تعلم ذلك يكفيه أشهر قليلة ، ثم تقدم على الزواج بعد ذلك .أما إن كان العلم فرض كفاية ، أو غير واجب ، فتقدم الزواج ، وهو الأفضل لورود الحث الشديد عليه ، وزجر من تركه ، فقد جاء في البخاري عن عبد الله بن مسعود أنه قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “من استطاع الباءة فليتزوج ، فإنه أغض للبصر ، وأحصن للفرج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء.”
Wallaahu a’lamu binafsil amri wa haqiiqatil haal.
(Mujawib: Ustadz Sahrul Anam, S.Pd.I. – Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Berau)