NU Media – Beberapa hari lalu saat Nahdlatul Ulama menggelar peringatan satu abad hari lahirnya banyak berseliweran di beranda sosial media penulis, postingan tak terkecuali video-video berdurasi pendek berisi komentar netizen yang mempersoalkan kenapa satu abad NU dirayakan tahun 2023 mengingat NU lahir tahun 1926 masehi yang seharusnya baru berusia 97 tahun. Komentar bernada pertanyaan tersebut kemudian dijawab netizen lainnya. Mereka menjelaskan bahwa satu abad NU dihitung menggunakan kalender hijriyah, bukan kalender masehi. Hari lahir Nahdlatul Ulama adalah 16 Rajab 1344 hijriyah yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 masehi, maka peringatan satu abadnya jatuh pada hari Selasa tanggal 16 Rajab 1444 hijriyah yang bertepatan dengan 7 Februari 2023 masehi.
Jawaban tersebut sebenarnya clear dan tidak perlu dipersoalkan lagi, apalagi sampai di-bahtsul masa’il-kan. Namun penulis cukup tertarik untuk turut memberikan komentar terkait keterpautan antara kalender hijriyah dan masehi. Keterpautan antara kalender hijriyah dan masehi tersebut sudah disampaikan Al-Qur’an dalam surah Al-Kahfi ayat 25:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).”
Dari sisi balaghah, ayat di atas sangat menarik serta membuka wawasan kita tentang adanya keterpautan antara perhitungan qamariyah dan syamsiyah. Pada masa ayat ini turun tentunya belum dikenal istilah kalender hijriyah sebab sebagaimana tercatat dalam sejarah, perhitungan hijriyah diinisiasi oleh Sayyidina Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu di masa kekhalifahannya. Akan tetapi Allah sudah menyinggung adanya dua hitungan yaitu 300 tahun dan di tambah 9 tahun.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip perkataan Imam An-Naqqasy yang mengemukakan bahwa 300 tahun itu dihitung dari hitungan matahari (syamsiyah) sedangkan jika dihitung menggunakan perhitungan bulan (qamariyah) maka harus ditambah 9 tahun sehingga menjadi 309 tahun:
وحكى النقاش ما معناه أنهم لبثوا ثلاثمائة سنة شمسية بحساب الأيام ; فلما كان الإخبار هنا للنبي العربي ذكرت التسع; إذ المفهوم عنده من السنين القمرية، وهذه الزيادة هي ما بين الحسابين . ونحوه ذكر الغزنوي. أي باختلاف سني الشمس والقمر ; لأنه يتفاوت في كل ثلاث وثلاثين وثلث سنة سنة فيكون في ثلاثمائة تسع سنين
“Dan menceritakan An-Naqqosy bahwa maksud 300 tahun adalah dihitung dari hitungan matahari perharinya, karena informasi tersebut disampaikan kepada Nabi yang berkebangsaan Arab maka ditambahlah 9 tahun sebab dikhawatirkan Nabi memahami hitungan 300 tahun dihitung dari hitungan bulan. Dan Al-Ghaznawi mengatakan bahwa selisih perbedaan jumlah hari dalam setahun antara tahun qamariyah dengan tahun syamsiyah menghasilkan satu tahun penuh tahun qamariyah di setiap 33 dan 1/3 tahun syamsiyah. Maka selisih antara keduanya (pada setiap 100 tahun menjadi 3 tahun qamariyah) setiap 300 tahun menjadi 9 tahun hijriyah.”
Dengan demikian, ada beberapa kesimpulan yang hendak penulis sampaikan:
Wallaahul Muwaffiq ilaa Aqwamith Thariiq.
(Penulis adalah Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Berau)